Total Tayangan Halaman

Rabu, 29 April 2009

Coccidiosis pada ayam (oleh: ArRaniri Putra, SKH)

Infeksi Eimeria sp, diawali dengan tertelannya ookista oleh ayam. Ookista tersebut akan menghasilkan 8 sporozoit yang masing-masing akan menginfeksi sel epitel usus. Di dalam sel epitel usus sporozoit tersebut akan membulat dan tumbuh menjadi meron generasi pertama. Meron tersebut akan menghasilkan sejumlah merozoit generasi pertama yang kemudian melepaskan diri dan keluar dari sel induk semang (hari ke-3). Kejadian ini akan menyebabkan inang mengalami diare berdarah. Merozoit generasi pertama akan memasuki sel-sel epitel usus yang baru dan berubah menjadi meron generasi kedua. Meron generasi kedua ini akan memproduksi sejumlah besar merozoit generasi kedua yang kemudian akan keluar dari sel induk semang (hari ke-5). Kejadian ini akan menimbulkan diare berdarah yang jauh lebih hebat dibandingkan pada hari ke-3 dan menimbulkan kematian yang tinggi. Merozoit generasi kedua ini akan masuk kedalam epitel usus yang baru dan beberapa diantaranya akan berubah menjadi meron generasi ketiga yang selanjutnya menghasilkan merozoit generasi ketiga. Beberapa merozoit generasi kedua yang lainnya akan berubah menjadi mikrogamon dan makrogamon. Mikro gamon akan menghasilkan mikrogamet dan makrogamon akan menghasilkan makrogamet. Mikrogamet akan membuahi makrogamet dan menghasilkan zigot dan selanjutnya akan berubah menjadi ookista yang selanjutnya akan bersporulasi dan dilepaskan melalui feses (Levine 1978). Penularannya yang melalui feses ditambah dengan kondisi liter yang basah akan mempercepat penyebaran penyakit ini dalam satu kandang. Perpindahan pegawai dari satu kandang ke kandang lain tanpa diikuti dengan prosedur biosekuriti yang baik akan menyebabkan perpindahan penyakit ini antar kandang yang akan mengakibatkan satu flok akan terinfeksi penyakit ini.

Daftar Pustaka
Levine ND. 1978. Textbook of Veterinary Parasitology. USA: Burgess Publishing Company.

Chronic Respiratory Disease (Oleh: ArRaniri Putra, S.KH)

Patogenesa dari CRD diawali dengan masuknya Mycoplasma gallisepticum ke dalam saluran pernapasan melalui hidung kemudian menyerang silia dan mukosa saluran pernapasan. Mycoplasma kemudian menghasilkan metabolit, materi toksik dan terjadi pengurangan asam amino, asam lemak dan prekursor DNA di dalam tubuh ayam sehingga menyebabkan membran mukosa saluran pernapasan mengalami kerusakan. Kemampuan tubuh untuk mengeluarkan lendir dan efek antimikrobial dari lendir akan berubah sehingga motilitas silia menjadi menurun dan berakibat Mycoplasma mudah masuk ke dalam paru-paru dan kantung udara. Selanjutnya dari saluran pernapasan, Mycoplasma akan masuk ke dalam aliran darah dan tersebar ke seluruh tubuh. Kelompok ayam yang terserang CRD tidak menunjukkan gejala klinik yang jelas. Pada umumnya terlihat discharge kataral yang keluar dari lubang hidung, batuk dan bersuara pada waktu bernapas (ngorok). Pada saat nekropsi ditemukan adanya eksudat pada rongga hidung dan sinus, kantung udara menjadi keruh dan mengandung eksudat, pada stadium lanjut eksudat dapat menjadi kuning dan berkonsistensi seperti keju. Eksudat seperti ini juga ditemukan pada jantung dan pericardium. Sedangkan apabila ayam menderita komplikasi dengan E. Coli maka akan ditemukan peradangan pada pericardium (pericarditis), capsula hati (perihepatitis) dan kantung udara (air sacculitis). Pericarditis merupakan reaksi inflamasi akibat adanya infeksi secara hematogen. Pada hewan, tipe pericarditis yang sering ditemui adalah pericarditis fibrinous. Hal ini ditandai dengan adanya permukaan pericardial yang diselaputi oleh lapisan fibrin berwarna kuning. Lapisan fibrin pada pericardium merupakan suatu proses persembuhan oleh tubuh karena terdapat jaringan yang nekrosa telah meluas dan ditandai dengan eksudat dari peradangan tidak terserap oleh tubuh dan menetap atau bekuan darah tidak segera mengalami penyerapan.

Ikhterus Atau Jaundice

Ikhterus atau Jaundice terjadi apabila kadar bilirubin serum meningkat diatas normal. Bilirubin merupakan pigmen kuning pada empedu yang dihasilkan dari pemecahan heme dan reduksi biliverdin (Danis 2004). Kekuningan pada kulit, mukosa dan sclera terjadi karena sifat bilirubin yang akan mewarnai jaringan dan cairan yang kontak dengan nya (Lindseth 2006). Secara umum kejadian ikhterus dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu ikhterus pre-hepatik, ikhterus hepatik dan ikhterus post-hepatik. Ikhterus pre-hepatik terjadi apabila proses penghancuran sel darah merah mengalami peningkatan. Sel darah merah mempunyai waktu hidup dalam aliran darah selama 120 hari, setelah masa tersebut terlewati maka sel darah merah akan didegradasi di dalam limpa menjadi haemoglobin. Haemoglobin selanjutnya akan dipecah menjadi heme dan globin. Globin akan dikirim ke protein pool untuk digunakan kembali, sementara heme akan dipecah kembali menjadi Fe dan biliverdin. Fe akan di simpan untuk digunakan kembali di sumsum tulang, sementara biliverdin akan didegradasi menjadi bilirubin tak terkonjugasi (MacFarlane et al 2000). Bilirubin tak terkonjugasi memiliki sifat yang larut dalam lemak namun tidak larut dalam air sehingga tidak dapat diekskresikan kedalam empedu maupun urine. Bilirubin tak terkonjugasi tersebut akan berikatan dengan albumin dalam suatu kompleks larut air, kemudian diangkut oleh darah ke sel-sel hati (Lindseth 2006). Pada kasus anemia hemolitika, infeksi parasit darah atau penyakit autoimun yang menyebabkan terjadinya penghancuran sel darah merah secara berlebihan akan menyebabkan terbentuknya bilirubin dalam jumlah yang banyak. Pembentukan bilirubin yang berlebih tersebut akan melampaui kemampuan hati untuk melakukan konjugasi. Hal ini mengakibatkan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam aliran darah meningkat dan terjadi ikhterus pre-hepatik (MacFarlane et al 2000). Bilirubin tak terkonjugasi akan dikonjugasikan dengan asam glucuronic menjadi bilirubin terkonjugasi yang memiliki sifat yang larut dalam air sehingga dapat diekskresikan didalam urin dan empedu. Apabila terjadi kerusakan hati seperti pada kasus hepatitis, maka bilirubin gagal dikonjugasikan sehingga terjadi peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah dan terjadi ikhterus hepatik. Setelah dikonjugasikan bilirubin akan dialirkan bersama-sama dengan air, elektrolit, garam empedu, fosfolipid, kolesterol dan garam anorganik sebagai empedu (Lindseth 2006). Pada kasus cholelitiasis, cholengioma, fasciolosis dan kasus-kasus lainnya yang menyebabkan terjadinya obstruksi dukstus empedu akan menyebabkan empedu gagal diekskresikan dan tertahan didalam vesica velea. Hal ini akan menyebabkan empedu gagal diekskresikan dan bilirubin terkonjugasi akan diserap kembali untuk disekresikan dalam urin. Proses penyerapan kembali bilirubin terkonjugasi ini akan menyebabkan kadar bilirubin terkonjugasi dalam darah meningkat sehingga terjadi ikhterus post-hepatik.

Daftar Pustaka

Danis D. 2004. Kamus Istilah Kedokteran. Jakarta: Gitamedia press.

Lindseth GN. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu dan Pankreas. Dalam buku Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit vol. 2, hlm. 472. Hartanto dkk, editor. Terjemahan dari Liver, Biliary And Pancreas Disorder. Dalam buku Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes. Price dan Wilson, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

Macfarlane PS, Reid R, Callander R. 2000. Pathology Illustrated. 5th Ed. London: Churchill Livingstone.


Selasa, 28 April 2009

Leptospirosis Pada Anjing

Leptospirosis merupakan penyakit bakterial yang disebabkan oleh agen genus Leptospira (Ettinger & Feldman 1995). Leptospirosis tersebar di seluruh dunia yang merupakan penyakit zoonosis yang sangat diperhatikan. Terdapat dua serotipe dari Leptopira yang penting pada anjing yaitu; 1) Serotipe Canicola yang berhubungan erat dengan kejadian nefritis interstisialis akut dan 2) Serotipe icterohaemorrhagie yang berhubungan dengan kejadian jaundice dan hemoragi. Perbedaan antara kedua serotipe ini disimpulkan bahwa serotipe canicola berhubungan dengan jaundice dan serotipe icterohaemorrhagie berhubungan dengan penyakit ginjal (Noel dan Latimer 2008). Leptospirosis pada anjing selalu berkaitan dengan gagal ginjal akut dan penyakit hati yang disertai dengan jaundice (Ettinger & Feldman 1995).

Perubahan PA yang merupakan patognomonis dari penyakit ini meliputi hepatitis, ikhterus, nefritis interstitialis dan pendarahan multiorgan. Menurut Noel dan Latimer (2008) Leptospira dapat menyerang berbagai organ antara lain ginjal, hati, limpa, sistem saraf pusat (SSP), mata, dan organ reproduksi.

Patogenesa penyakit ini diawali dengan anjing terinfeksi Leptospira melalui kontak dengan urin hewan yang terinfeksi sebelumnya, air yang terkontaminasi Leptospira dari urin tikus, kopulasi, gigitan dan daging yang terinfeksi Leptospira (Noel dan Latimer 2008). Leptospira masuk ke dalam tubuh hewan melalui kulit yang luka atau membran mukosa kemudian masuk ke pembuluh darah. Bakteremia ini dapat merusak pembuluh darah dan melisiskan darah. Leptospira memiliki enzim lipase yang ekan merusak membran sel darah dan sel endotel hal inilah yang menyebabkan terjadinya pendarahan multi organ. Lisisnya sel darah merah membuat limpa meningkatkan kerjanya untuk melakukan destruksi sel darah merah yang menyebabkan terjadinya peningkatan bilirubin tak terkonjugasi dalam darah yang menyebabkan terjadinya ikhterus. Selain ikhterus pre hepatik, leptospirosis juga menyebabkan ikhterus hepatik karena rusaknya sel-sel hati dan ikhterus post-hepatik karena tersumbatnya duktus choledukus oleh bakteri tersebut dan reruntuhan sel dinding duktus. Bakteri ini tersebar di beberapa organ tubuh penting antara lain ginjal, hati, SSP, limpa, mata, dan organ reproduksi. Tubuh dapat bereaksi terhadap infeksi Leptospira dengan memproduksi antibodi. Umumnya Leptospira dapat dieliminasi dari sebagian besar organ oleh antibodi yang diproduksi tubuh. Namun keberadaan Leptospira di ginjal sulit dieliminasi, karena ginjal khususnya daerah glomerulus merupakan daerah yang jarang ditemukan antibodi karena ukuran antibodi yang tidak dapat melewati filtrat glomerulus (Ettinger & Feldman 1995). Berdasarkan anamnese, dikatakan bahwa anjing telah menjalani vaksinasi terhadap leptospira. Munculnya leptospirosis pada hewan yang telah divaksinasi dapat terjadi karena beberapa hal diantaranya kegagalan vaksinasi, kegagalan tubuh membentuk antibodi karena imunosupresif ataupun anjing terinfeksi leptospira dari serevoar lain yang tidak terdapat dalam vain. Pada kondisi ini, Leptospira dapat keluar bersama urin selama beberapa bulan hingga tahunan. Keparahan lesio organ tergantung pada virulensi agen dan kerentanan hewan sebagai induk semang (Noel dan Latimer 2008). Penularan banyak terjadi saat musim hujan atau dalam keadaan lembab (Hines 2006).

Daftar Pustaka

Ettinger SJ, Feldman EC. 1995. Textbook of Veterinary Internal Medicine-Diseases of the Dog and Cat. 4th Edition. Volume 2. Philadelphia: WB Saunders Company.

Hines R. 2006. Leptospirosis in Dogs. http://www.2ndchance.info/leptospirosis. htm. [25 April 2009].

Noel S, Latimer KS. 2008. An Overview of Canine Leptospirosis. http://www.vet. uga.edu/vpp/CLERK/noel/. [25 April 2009].


Sabtu, 14 Februari 2009

Wah...

Wah sudah lama sekali tidak membuka blog ini..
maklum sempet ada trouble yg buat gw susah bgt log-in..

semuanya udah di mulai,,, yup just 1 years again i will be a veterinarian...

wew,,, it's amaizing to be a veterinary student,, everything is look awesome,,

thiz month i have do my "koas" in reproduction rehabilitations unit,, it's amaizing if u see the movement of sperm under the microscop.. it's make me felt that u are the best person who come from the best sperm..

it's amizing when ur hand touch the ovarium with rectal exploration in cattle...

it's amaizing when u see that horse is have some rituals to start their copulation..

all of that make me proud to be a VET...

Mengenai Saya

Foto saya
Depok, Jawa Barat, Indonesia
Veterinarian in PDHB drh. Cucu, dkk